Jakarta, mediaperkebunan.id – Perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia kini menghadapi ancaman serius dari penyakit jamur Ganoderma boninense, atau dikenal dengan penyakit busuk pangkal batang (basal stem rot). Serangan ini menyebabkan pangkal hingga batang pohon sawit membusuk, sehingga menurunkan hasil panen dan bahkan mematikan tanaman. Gejala busuk pangkal batang terlihat dari munculnya jamur Ganoderma basidiocarps, pembusukan jaringan dalam batang, hingga berkurangnya produksi tandan buah segar (TBS).
Melansir dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Malaysia, penyakit ganoderma diperkirakan dapat memangkas produksi TBS hingga 60% per hektare. Data Malaysian Palm Oil Board (MPOB) mencatat dari 1,46 juta hektare sawit yang disurvei tahun lalu, sekitar 199.644 hektare (13,7%) telah terinfeksi. Kawasan yang paling terdampak adalah Johor, Sabah, Sarawak, Perak, dan Negeri Sembilan.
Akademisi Universiti Malaysia Sabah, Chong Khim Phin, menyebut peningkatan 1% tingkat infeksi ganoderma dapat mengurangi produksi sawit tergantung usia tanaman dan kepadatan serangan. “Dalam satu siklus panen 25 tahun, kerugian produksi TBS bisa mencapai 15%–20% di daerah yang paling terdampak,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan M.R. Chandran, Chairman IRGA, yang menilai ganoderma menjadi ancaman terbesar kedua setelah kekurangan tenaga kerja. “Infeksi ganoderma sekitar 14% di perkebunan sawit bisa menyebabkan kehilangan produksi TBS hingga 20–60% per hektare,” katanya.
Bahkan, Patterson (2020) memperingatkan tanpa pengendalian serius, pada tahun 2075 luas lahan sawit yang terinfeksi bisa lebih besar dibanding lahan yang sehat. Kondisi ini jelas mengancam keberlangsungan perkebunan sawit nasional yang selama ini menjadi pilar devisa, pangan, dan energi Indonesia.
PASPI (2025) dalam jurnal “Innovations to Control Ganoderma In Oil Palm Plantations” menekankan pentingnya sinergi inovasi antara kebijakan nasional, lembaga, dan peneliti. Pasalnya, penyebaran ganoderma tidak lagi mengenal batas wilayah maupun generasi tanaman.
Serangan ganoderma telah merata, mulai dari perkebunan besar swasta, PTPN, hingga kebun rakyat. Bahkan, bibit di sejumlah pembibitan sawit juga terdeteksi terinfeksi jamur ini.
Upaya paling penting dalam menekan serangan ganoderma adalah deteksi sejak dini. Teknologi inovatif hasil riset yang didukung BPDPKS melalui dana riset sawit, telah melahirkan berbagai metode deteksi ganoderma di tahap awal.
Beberapa inovasi tersebut antara lain:
- eNose-G (Widiastuti dkk., 2020–2022): teknologi penciuman elektronik generasi ketiga yang mampu membedakan tanaman sehat dan yang terinfeksi pada tahap awal, sedang, hingga parah, dengan akurasi lebih dari 80%.
- Perangkat portabel deteksi molekuler (Whulanza dkk., 2022–2023): berbasis miniaturisasi, praktis digunakan langsung di lapangan.
- Radar Self Injection Locked (SIL) (Arif dkk., 2024): mendeteksi tanda-tanda awal infeksi ganoderma melalui karakteristik fisik pohon sawit.
- IFOVIB-G (Shovitri dkk., 2024): teknologi berbasis robot yang menggabungkan foton dan getaran untuk mendeteksi ganoderma secara presisi.
Keempat teknologi ini memungkinkan deteksi ganoderma sebelum gejalanya terlihat oleh mata manusia, sehingga pengendalian dapat dilakukan lebih efektif.
PASPI (2025) menyarankan keempat teknologi tersebut dapat dikombinasikan untuk menghasilkan metode deteksi paling efisien dalam memerangi ganoderma.
Ancaman ganoderma menjadi peringatan serius bagi industri sawit Indonesia dan Malaysia. Dengan kontribusi besar sawit terhadap perdagangan, energi, hingga ekonomi nasional, upaya pencegahan penyakit ini sangat krusial.
Deteksi dini berbasis teknologi, sinergi riset, serta kebijakan yang tepat akan menjadi kunci menjaga produktivitas sawit di masa depan. Tanpa langkah nyata, ganoderma berpotensi menjadi momok yang merugikan jutaan petani, perusahaan, hingga devisa negara.
